
Bayangkan ini: Tanggal pemungutan suara tiba. Ribuan TPS dibuka dari Sabang sampai Merauke. Petugas KPPS siaga sejak subuh. Kotak suara kosong. Surat suara tak tersentuh. Tidak ada satu pun warga yang datang memilih anggota DPR atau DPRD.
Ini bukan fiksi politik atau sindiran golput. Ini adalah skenario konstitusional ekstrem yang belum pernah terjadi di Indonesia — tapi secara hukum, mungkin saja terjadi. Dan jika itu benar-benar terjadi, apa yang akan menimpa republik ini?
1. Pemilu Tetap Sah, Tapi Hasilnya Nol
Menurut UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, pemilu tidak batal hanya karena partisipasi nol. Yang membatalkan pemilu adalah pelanggaran prosedur berat — seperti TPS tidak dibuka, surat suara hilang, atau kecurangan terstruktur.
Jika benar-benar tak ada satu pun suara sah yang masuk untuk kursi legislatif:
- Semua partai politik peserta mendapat 0 suara.
- Tidak ada parpol yang lolos parliamentary threshold 4% untuk DPR RI.
- Semua kursi DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kab/Kota/Kota kosong total.
2. Krisis Konstitusional: Legislatif Lenyap
UUD 1945 mengamanatkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dilantik oleh MPR (Pasal 3 ayat 3). Tapi MPR terdiri atas anggota DPR + DPD. Jika DPR kosong, siapa yang melantik presiden?
| Aspek | Akibat |
|---|---|
| Pelantikan Presiden | Tidak bisa dilakukan tanpa DPR → vacuum of power |
| Penganggaran (APBN/APBD) | Tidak ada yang mengesahkan → pemerintahan lumpuh |
| Pembentukan UU | Presiden bisa keluarkan Perppu, tapi tetap butuh persetujuan DPR yang tidak ada |
| Pengawasan Eksekutif | Tanpa DPR, tidak ada hak angket, interpelasi, atau impeachment |
3. Solusi Hukum yang Mungkin (dan Kontroversial)
Pemerintah dan KPU tidak akan tinggal diam. Beberapa opsi yang mungkin diambil:
- Pemilu Ulang Nasional
Bisa digelar susulan di seluruh Indonesia (Pasal 373 UU Pemilu). Tapi butuh biaya triliunan dan legitimasi politik. - Penunjukan Anggota Sementara
Tidak ada dasar hukum langsung. Mungkin dibentuk “Dewan Transisi” via Perppu — tapi rawan ditolak MK sebagai inconstitusional. - Keadaan Darurat Konstitusional
Presiden nyatakan staat van nood (keadaan bahaya), aktifkan Pasal 12 UUD 1945. Tapi ini membuka pintu otoritarianisme.
4. Apakah Ini Realistis?
Tidak. Tapi bukan karena mustahil — melainkan karena sistem dirancang untuk mencegahnya.
- KPU wajib buka TPS meski sepi.
- Ada mekanisme pemilu susulan jika partisipasi di bawah ambang batas di suatu daerah.
- Sejarah mencatat: bahkan di Pemilu 1955 yang penuh konflik, tetap ada suara (meski golput tinggi di beberapa tempat).
Tapi skenario ini tetap penting sebagai ujian ekstrem bagi konstitusi. Ia mengingatkan kita: demokrasi bukan hanya hak, tapi juga tanggung jawab kolektif.
Kesimpulan: Demokrasi Butuh Partisipasi
Jika benar-benar tak ada satu pun yang memilih DPR/DPRD, maka:
- Pemilu tetap sah secara prosedural.
- Semua kursi legislatif kosong.
- Negara masuk krisis konstitusional berat.
- Solusi paling logis: pemilu ulang nasional.
Ini bukan sekadar hipotesis. Ini adalah cermin: betapa rapuhnya demokrasi jika rakyat menyerah pada apati. Pemilu bukan ritual lima tahunan. Ia adalah napas republik.