Pada September 1740 keadaan kota Batavia sangat gawat. Masyarakat China di Glodok diterpa isu bahwa ratusan, bahkan mungkin lebih, orang China yang dideportasi ke Srilanka (yang kala itu juga menjadi jajahan Belanda) dilempar ke laut. Akibatnya, orang-orang China yang juga hendak dideportasi bergerak bergerombol-gerombol, melengkapi dirinya dengan senjata-senjata hasil rampasan dari Belanda.
Awal Oktober 1740, orang-orang China mulai menyerang posisi-posisi kekuatan kecil Belanda di Meester Cornelis (kini Jatinegara) dan Tanah Abang, dan berhasil menewaskan 50 orang tentara Kompeni. Menghadapi serangan itu, Belanda di bawah pimpinan Jenderal Van Imhoff kemudian melakukan operasi pembersihan, jam malam diberlakukan.
Tanggal 9 Oktober 1740 kerusuhan besar meledak di Glodok. Sehari sebelumnya Belanda berhasil memukul mundur serangan balasan orang China yang kuat di pinggiran kota. Situasi kembali makin tidak terkendali
dan terjadi pembakaran gedung-gedung dan rumah-rumah orang China di Glodok. Orang-orang keluar berdesak-desakan di jalanan. Para serdadu Belanda tanpa mengenal ampun menembaki mereka. Seluruh masyarakat menjadi panik.
Seorang penulis Belanda di abad ke 19 membuat laporan mengenai peristiwa itu, seperti yang tertera dalam buku 'Hikayat Jakarta' karangan Willard A Hanna, seorang warga AS yang lama tinggal di Jakarta. Hanna menuliskan, "Tiba-tiba secara tidak terduga, seketika itu juga terdengar jeritan ketakutan bergema di seluruh kota, dan terjadilah pemandangan yang paling memilukan dan perampokan di segala sudut kota".
Horor pembantaian itu masih dipertegas, bahwa, "Semua orang China tanpa kecuali, pria, wanita, dan anak-anak diserang. Baik wanita hamil maupun bayi yang sedang menyusui tidak luput dari pembantaian yang tidak mengenal peri-kemanusiaan. Ratusan tahanan yang dibelenggu, disembelih seperti menyembelih domba".
Menurut laporan kontemporer, 10 ribu orang China, termasuk para tahanan dan pasien rumah sakit telah dibunuh, 500 orang luka parah, 700 rumah dirusak dan barang-barang mereka habis dirampok. Pendek kata, semua orang China baik bersalah maupun tidak, dibantai dalam peristiwa tersebut.
Seperti diketahui, tertarik akan kehidupan yang lebih baik, pada tahun-tahun awal abad ke 18 beribu-ribu pendatang China membanjiri Batavia dari negeri leluhurnya. Ketika itu jumlah penduduk kota dan sekitarnya yang berkebangsaan China sekitar 80.000 jiwa. Banyak dari mereka yang bekerja di Perkebunan tebu, pabrik gula, dan perusahaan perkayuan yang didirikan di luar kota, seperti Tanah Abang, Jatinegara, dan Sawah Besar.
Tapi sayangnya ribuan pendatang itu banyak yang tidak mendapat pekerjaan. Mereka menjadi gelandangan. Dan bahkan banyak yang melakukan kejahatan. Karena itulah pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk menangkap mereka secara besar-besaran dan mengekspor kelebihan orang China itu ke Srilanka.
Namun, para pejabat Kompeni yang melakukan tugas ini melakukannya dengan cara sembrono dan diluar rasa kemanusiaan. Akibatnya, terjadilaj peristiwa tahun 1740 itu, yang menurut sejarawan merupakan noda paling hitam di Batavia (Jakarta).
Sumber: Kisah Betawi Tempo Doeloe, Alwi Shahab.
Foto: Potret masyarakat China di masa Kolonial Belanda.