Tanggal 26 Maret 1873 Bukan Sekedar Kenangan saja Untuk Rakyat Aceh, Wajah penuh amarah dan suara arogan Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen yang putus asa tak tersembunyikan. Ia yang dikawal para serdadu kerajaannya kembali ke kapal Citadel van Antwerpen karena tak mendapatkan apa-apa dari sultan dan raja-raja. Dari geladak kapal itu ia mengambil secarik kertas yang telah disimpannya. Kertas dokumen dari rajanya di Belanda yang akan melahirkan prahara sepanjang masa.
Iapun dengan suara amat keras sambil mem-Busungkan dada membacanya mengumandangkan permusuhan dan perang terbuka terhadap negeri Aceh yang sedang terbuka rahasia kelemahannya yang segera nyata. Suaranya yang keras memaklumkan perang tetap saja tak terdengar ke istana darul dunia. Tidak pula mengalahkan suara gulungan ombak di mulut Samudra Hindia yang silih berganti menghantam pantai-pantai Aceh.
Lalu dentuman tembakan meriam-meriam besarpun mengiringi suara deklarasi perang ke arah daratan, Mengirimkan kabar berita yang akan menimbulkan derita dan duka dalam waktu yang lama.
Ribuan serdadu Belanda mengikuti tembakan meriam-meriam pemancing perang mulai turun menuju daratan. Berupaya menusuk ke arah jantung istana hingga rumah Tuhan mesjid raya. Rudolf Kohler sang panglima perang kebanggaan Belanda terkapar tanpa diduga diterjang peluru pasukan Aceh Darussalam yang tetap setia.
Tetapi, Belanda tak akan berhenti di 1873 saja karena kekalahan memang hanyalah sementara. Mereka segera kembali silih berganti dengan kekuatan kejam yang berlipat ganda hampir tujuh puluh tahun lamanya.
Mereka kembali bukan hanya berperang menggunakan bedil, senapan dan meriam yang keras suara. Jutaan tipu daya yang mematikan dan meninggalkan kehancuran dalam waktu yang lama dijadikan senjata.
Segenap masa lalu yang menuai keuntungan Belanda tak lagi menjadi ingatan. Mereka telah menghapuskannya mulai hari Rabu yang malang itu pada 26 Maret 1873 dan Belanda ingin menguasai segalanya secara paksa. Maka pahamilah wahai anak-anak negeri warisan Endatu jika masa lalu itu bukanlah suatu kenangan saja, tetapi masa depan adalah sejarah yang harus direkayasa dengan sebenarnya.
26 Maret 1873 deklarasi perang oleh kerajaan Belanda terhadap kerajaan Aceh setelah lebih 250 tahun bersahabat dalam kepentingan bersama perdagangan dan Aceh mengakui kemerdekaan Belanda dari Spanyol pada 1602, sebagai titik awal persahabatan. Lalu menjadi musuh dalam perang terbuka sejak 26 Maret 1873, seluruh daerah kerajaan yang menjadi bahagian kerajaaan Aceh tdi Sumatra telah melepaskan diri karena dipecah belah Belanda dan terlahir Nias pada 1874 juga tak lagi menjadi bahagian Aceh. perang Aceh melawan kolonial Belanda termasuk salah satu dari 10 perang terbesar dan terlama di dunia saat itu.
Sejarah nasional Indonesia, penjajahan Belanda yang disebut 350 tahun itu tentu minus Aceh. Dan hanya terhadap Aceh, kolonial Belanda menyatakan perang dan menempatkan gubernir militer sepanjang upaya okupasi dan kolonialisasi itu. Selama perang Aceh Belanda, status Aceh dapat disebut secara hukum internasional sebagai daerah non Self governing territory karena Belanda tidak menguasai Aceh secara administrasi sipil karena tiap hari harus melayani perlawanan Aceh. Berbeda dengan daerah2 lain di Indonesia yang dapat dikuasai awalnya dengan perusahaan perdagangan Belanda VOC dan memang menimbulkan perlawanan di kemudian hari di beberapa titik tetapi tidak kolosal dan massif seperti perang Belanda terhadap Aceh dan perlawanan Aceh terhadap
Belanda. Maka ketika Indonesia mengadakan perundingan terakhir di den Haag belanda, status Aceh menjadi modal diplomasi politik bagi kemerdekaan Indonesia. selain sejumlah pengorbanan harta benda, senjata dan tentara eks kerajaan Aceh maupun tentara rakyat yang melawan Belanda hingga ke medan area di Sumatra utara Selama digabungkan dalam negara baru Indonesia.
Sumber: FB: Muhammad Nazar
Jakarta, 26 Maret 2021